Jika Umar Masih Hidup Mungkin Ruyati Sang TKI Selamat

Hukuman Pancung yang diterima Ruyati, TKI yang berkerja di Arab Saudi menimbulkan sesal diberbagai pihak. Biar bagaimanapun hukum harus ditegakkan. Siapa yang bersalah harus menanggung akibat dari perbuatannya.

Itulah hal yang dialami Ruyati karena divonis bersalah telah membunuh majikannya. Sesuai dengan hukum yang dianut  di Arab Saudi, Hukum Islam, maka tidak ada jalan lain selain Qisas, yaitu pembalasan "Hutang nyawa dibayar nyawa" karena hingga pembacaan putusan keluarga korban belum mau memaafkan pelaku.

Namun apakah hukuman ini pantas diterima Ruyati. Tidak adakah pembelaan lain yang meringankan Ruyati? karena terdengar diberita bahwa sebelum Ruyati diduga membunuh majikannya ia terlebih dahulu ditindas, gaji terlambat berbulan-bulan dan mendapat siksaan dari manjikan. Siapa yang tahan denga kondisi ini? jika anda berada diposisi yang sama mungkin anda juga akan melakukan hal yang sama.

Sangat kuat dugaan jika motif dari pembunuhan tersebut karena penyiksaan dan gaji yang terlambat. Tentu saja orang tidak akan berbuat nekat jika tidak dalam kondisi terdesak atau tertekan.

Dalam tulisan ini saya mencoba menganalogikannya dengan hukum mencuri yang pernah terjadi pada masa khalifah. (Mohon maaf jika pendapat saya ini salah, ini hanya opini pribadi)

Di dalam Islam, hukum mencuri ditegaskan di dalam Al-Quran:

'Laki-laki yang mencuri dan peempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasan dan Maha Bijaksana' (Q.S. Al Maidah (5) : 38 ).
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda tentang bahaya mencuri bagi suatu masyarakat dan ketegasan hukumnya:
'Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.' (Riwayat Bukhari)
Hukuman potong tangan, yang sering dipandang sebagai tidak manusiawi (penulis: mungkin juga dengan hukum pancung)bagi yang menentangnya atau sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung literalnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks. Para ahli hukum Islam sering mencontoh kisah yang terjadi dalam masa khalifah kedua Umar bin Khaththab yang tidak menghukum pencuri tapi justru mengancam akan menghukum yang dicuri atau tuan sang pencuri.

Misalnya, dikisahkan ketika suatu ketika terjadi paceklik, ada kasus pencurian yang dilaporkan kepada Umar untuk dihukum, tetapi Umar menolak menghukumnya, alasannya karena musim paceklik mungkin orang itu terpaksa mencuri karena takut mati kelaparan. Sebaliknya Umar malah pernah mengancam, "Kalau kamu terus menerus melaporkan pencuri hartamu padahal kamu kaya, malah nanti tangan kamu yang akan saya potong, karena kamu yang menjadi sebab orang ini lapar."

Dalam kisah lain disebutkan ada dua orang hamba sahaja yang mencuri dari tuannya karena tidak diberi makanan yang cukup, Umar tidak menghukumnya, tapi justru mengancam akan memotong tangan tuannya. . Kisah serupa juga bisa didapati pada suatu kisah ketika beberapa budak milik Hathib bin Abi Balta'ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan menyembelihnya. Umar bin Khattab menerima pengaduan tetapi tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpaksa untuk mengisi perut karena ditelantarkan oleh majikannya. Umar benar-benar marah, Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan.
Ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya hukum itu melihat konteks atau pre-kondisinya. Setiap keputusan hukum memiliki apa yg disebut sbg 'illat (sebab, rasio-logis tentang kenapa hukum itu ditetapkan). Jadi kalau pre-kondisinya tidak terpenuhi maka hukum itu tidak bisa dijalankan.
Bahkan lebih jauh lagi, Yusuf Qardhawi dalam bukunya Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh (ditermahkan dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah), berpendapat bahwa pelaksanaan hukum Islam sebenarnya cenderung untuk menutupi dan memaafkan hukuman sebagaimana dikenal dalam kaidah popular "Dar'ul Hudud bisy-syubahaat", yang artinya menolak hukuman dengan adanya syubuhat (kemungkinan-kemungkinan untuk membatalkan). Ada sebuah hadist yang berbunyi:
"Tolaklah hudud itu dari kaum Muslimin semampu kamu, jika kamu mendapatkan jalan keluar untuk seorang Muslim maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam menghukum." (HR. Hakim)
Hadist ini diperkuat dengan hadist : "Tolaklah hudud itu dengan syubuhat."
Kasus pembebasan pencuri oleh Umar, menurut Qardhawi menunjukkan penerapan hal ini. Ini bukan bentuk mengugurkan hukuman tapi karena pre-kondisinya belum wajib untuk diterapkannya hukum itu. Seperti tidak wajibnya suatu perintah karena sebelum memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.

Nah pada tulisan yang saya kutip dari luk.staff.ugm.ac.id diatas , coba perhatikan tulisan yang telah saya tebalkan. Umar menerima pengaduan tapi tidak segera menjatuhkan hukuman namun bertannya kepada budak-budak (pelaku) sebab musababnya.

Ini dapat dipahami bahwa Umar melihat apa sebenarnya motif dari pencurian itu. Tidak serta merta mencuri lalu dipotong tangan. Tentu saja ada keadaan sebelumnya yang memicu pencurian tersebut.

Sama halnya dengan yang terjadi pada Ruyati, apakah motif dibalik pembunuhan itu sudah dipertimbangkan. Karena berdasar pengakuan keluarga, Ruyati sering mendapat siksaan dan gaji sering terlambat. Uang kiriman kekampung halamanpun macet.

Siapa yang tahan disiksa dan tidak digaji (hampir sama dengan budak kelaparan pada kisah Khilafah Umar diatas). Jika disiksa terus bukan tidak mungkin akan menemui aja seperti budak dalam kisah diatas yang takut mati kelaparan.

Bagaimana menurut anda?

catatan:
Tulisan ini hanya berdasarkan pemahaman saya, saya bukanlah Ahli Hukum dan juga bukan Ahli Hukum Islam.  Saya hanya seorang mahasiswa (dan blogger) . Jika saya salah mohon luruskan terimakasih

Referensi:
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Etc/FiqhHakCipta.html



Tulisan Terkait :


Best Quote Today:
Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat. (Winston Chuchill)

Jika Anda menyukai tulisan diatas jangan lupa untuk klik tombol suka untuk berbagi dengan teman facebook Anda. Anda juga bisa membagikan tulisan ini di twitter dan jejaring sosial lainnya. Berbagi itu indah.
 
Indonesian Super League 10/11|Indonesian Best Brand Image|Tanggapan FBC Atas PIPA dan SOPA|Operator Seluler Indonesia|Facebook Application
Guest Book FBC|Barter Link - Sahabat FBC| Profil dan Biodata | Kunci Gitar
Protected by CopyRights & Intelectual Property 2009-2012